Aksi Protes Tambanh Nikel Raja Ampat

Mahasiswa Katolik Uncen Tolak Tambang Nikel di Raja Ampat: Demi Alam dan Masyarakat Adat!

Raja Ampat adalah bagian dari segitiga terumbu karang dunia, rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, dan menampung 75% jenis karang yang ada di bumi

|
Editor: Lidya Salmah
Tribun-Papua.com/Yulianus Magai
SUARA MAHASISWA UNCEN TOLAK PENAMBANGAN NIKEL- Unit Kegiatan Mahasiswa - Keluarga Mahasiswa Katolik (UKM-KMK) Santo Alexander Universitas Cenderawasih saat menggelar aksi protes menolak pembangunan tambang di Raja Ampat foto Yulianus Magai/Tribun-Papua.com 

TRIBUN-PAPUATENGAH.COM, JAYAPURA- Unit Kegiatan Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa Katolik (UKM-KMK) Santo Alexander Universitas Cenderawasih menyuarakan penolakan tegas terhadap aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya

Aksi protes ini berlangsung di lampu merah Waena, Kota Jayapura, Papua, pada Minggu (8/6/2025), menjadi bagian dari Latihan Kepemimpinan (LK) Tingkat II organisasi tersebut.

Ketua Umum UKM-KMK Santo Alexander periode 2024–2025, Anthonius Semeya Turot, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan membentuk jiwa kepemimpinan dan sikap kritis di kalangan mahasiswa Katolik.

"Kami ingin mahasiswa peka terhadap berbagai situasi di Papua, tidak menjadi apatis," ujar Anthonius.

Baca juga: Warga Wamena Kecewa, Bantuan Banjir Tak Merata: Pemkab Jayawijaya Akui Kendala Distribusi

Ia menekankan bahwa aksi ini merupakan bentuk kepedulian mahasiswa terhadap kelestarian alam Papua, khususnya Raja Ampat yang diakui sebagai salah satu surga keanekaragaman hayati dunia.

Apalagi, Raja Ampat adalah bagian dari segitiga terumbu karang dunia, rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, dan menampung 75 persen jenis karang yang ada di bumi.

"Dalam kampanye ini, kami menyoroti ancaman tambang nikel di Raja Ampat. Ironisnya, di tengah upaya global untuk melindungi lingkungan, eksploitasi tambang justru mengancam tanah dan laut Raja Ampat," tegas Anthonius.

Baca juga: Kasus COVID-19 di Asia Tenggara Naik, Dinkes Mimika Tetap Siaga dan Imbau Warga Patuhi Prokes

Ia juga menyoroti "paradoks transisi energi di Indonesia", di mana target nol emisi karbon dikejar, namun perusakan lingkungan demi bahan baku energi hijau tetap diizinkan.

"Pendekatan ekstraktif ini mirip dengan ekonomi kolonial gaya baru: sumber daya dikeruk, masyarakat ditinggalkan, dan lingkungan rusak," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Sterling Committee, Erson Tapki Kalka, mengingatkan peran penting masyarakat adat Raja Ampat yang telah menjaga hutan, laut, dan tanah secara turun-temurun.

"Mereka bukan penghalang pembangunan, melainkan penjaga terakhir benteng ekologi. Ketika tambang masuk, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga nilai, budaya, dan hak hidup masyarakat adat," katanya.

Baca juga: Upaya Bupati Biak Numfor: Dari Laut Lepas Menuju Industri Olahan Ikan, Demi Kesejahteraan Lokal!

Erson mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk lebih mendengarkan suara masyarakat adat daripada "suara modal".

"Raja Ampat lebih berharga dijaga daripada ditambang. Jika kita benar-benar menginginkan transisi energi yang adil, maka langkah pertama adalah menolak tambang nikel di Raja Ampat," tegasnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved