Mahasiswa Puncak Unras di Jakarta

Unras di Kantor Kemendagri, Mahasiswa Puncak Desak Hentikan Kekerasan dan Militerisasi di Papua!

Banyak warga sipil menjadi korban akibat konflik antara aparat negara dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

|
Editor: Lidya Salmah
Istimewa
DEMO MAHASISWA PUNCAK- Ratusan mahasiswa asal Kabupaten Puncak di wilayah Jakarta, Bobor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menamakan diri Front Gerakan Organik Melawan Eksistensi (FGOME) saat menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (15/7). Foto: Istimewa 

TRIBUN-PAPUATENGAH.COM, JAKARTA- Ratusan mahasiswa asal Kabupaten Puncak, Papua Tengah, yang tergabung dalam Front Gerakan Organik Melawan Eksistensi (FGOME) berunjuk rasa.

Unras tersebut dipusatkan di depan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).

Aksi ini menyoroti kejahatan terhadap warga sipil Papua di Kabupaten Puncak yang terus terjadi sejak era Presiden Joko Widodo hingga masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Koordinator aksi, Deris Murib, menyatakan bahwa sejak menjadi daerah otonom baru pada 2008, khususnya dari 2018 hingga 2025, Kabupaten Puncak menjadi salah satu wilayah konflik bersenjata terparah di Papua.

Baca juga: Bupati Deiyai Sidak: Ancam Copot Kepsek dan Tutup Sekolah Tak Produktif

Banyak warga sipil menjadi korban akibat konflik antara aparat negara dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Menurut Deris, pemekaran wilayah, termasuk rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) lanjutan di Papua, patut dipertanyakan efektivitas dan niat sebenarnya.

Ia khawatir kehadiran DOB dan rencana pemekaran susulan akan dibarengi operasi militer besar-besaran, yang justru meningkatkan eskalasi kekerasan terhadap orang asli Papua.

Baca juga: Gaungkan KMP, Piltikus PAN PAPUA Tengah: Solusi Ekonomi Kerakyatan untuk Kesejahteraan Desa

Deris mencontohkan, di era Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur seperti jalan, bandara, dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua justru disertai operasi militer masif di Puncak atas nama "menjaga stabilitas."

 "Operasi militer di Puncak malah menghasilkan peningkatan jumlah pengungsi internal yang, dalam taksasi kami sejak 2018 hingga 2024, mencapai lebih dari 60.000 orang," ungkap Deris.

Sebagian besar pengungsi berasal dari Distrik Gome, Ilaga, Beoga, dan Sinak.

Ia juga menyebutkan pembakaran rumah dan Gereja GKII pada Maret–April 2023 sebagai contoh nyata kekerasan tersebut.

Baca juga: Diduga Dianiaya Oknum TNI di Timika, Joshua Rumbiak Minta Keadilan

Ia juga menyoroti kasus penembakan dan pembunuhan warga sipil seperti Meton Magay (21), Derminus Waker (20), Wanimbo (32) di Ilaga, dan Tarina Murib (perempuan Papua) yang tewas tertembak aparat pada 3 Maret 2023 di Desa Pamebut.

Selain itu, stigmatisasi kolektif terhadap orang asli Papua sebagai kelompok separatisme memicu penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan trauma berkepanjangan.

Militerisasi Hingga Kebijakan Habema

Menurut Deris, pelibatan aparat TNI-Polri dan militerisasi kehidupan sipil tidak hanya terbatas pada operasi keamanan, tetapi juga merambah ruang publik seperti sekolah dan fasilitas kesehatan.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved