Info Nabire

Pasca Konflik Topo-Urumusu, Masyarakat Dani di Nabire Gelar Pertemuan Bahas Solusi Kemanusiaan

Menurut Oktovianus, konflik tapal batas tanah yang pecah pada 5 Juni 2023 di Urumusu dan Topo Jaya menyebabkan korban jiwa dan kerugian besar.

Penulis: Melkianus Dogopia | Editor: Lidya Salmah
Tribun-PapuaTengah.com/Melkianus Dogopia
PERTEMUAN- Sejumlah 60 peserta gelar rapat perdana mewakili berbagai elemen masyarakat dani untuk pengungsi pasca konflik Topo, Sabtu (10/10/2025), sore pukul 16.00 WIT di Lapangan Bola Voli, Kampung Kali Susu, Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Foto: Tribun-PapuaTengah.com/Melkianus Dogopia 

Laporan Wartawan TribunPapuaTengah.com, Melky Dogopia

‎TRIBUNPAPUATENGAH.COM, Nabire- Masyarakat Suku Dani dari berbagai elemen menggelar pertemuan perdana membahas solusi bagi para pengungsi pasca konflik antar Suku Dani dan Mee di Topo dan Urumusu, Kabupaten Nabire, Papua Tengah.

Koordinator pertemuan, Oktovianus Tabuni, mengatakan rapat tersebut berlangsung, Jumat (3/10/2025) di Lapangan Bola Voli, Kampung Kali Susu, Distrik Nabire.

Menurut Oktovianus, konflik tapal batas tanah yang pecah pada 5 Juni 2023 di Urumusu dan Topo Jaya menyebabkan korban jiwa dan kerugian besar.

Baca juga: Detik-detik Guru di Yahukimo Ditembak dan Ditikam OTK Saat Tanam Pohon, Polisi Buru Pelaku

Warga dari wilayah Km 80 hingga Km 58 terpaksa meninggalkan lokasi pedulangan mereka.

“Banyak warga mengungsi ke Nabire dan kini hidup dalam kondisi sosial yang memprihatinkan,” kata Oktovianus, Sabtu (11/10/2025).

Ia menjelaskan sebagian besar pengungsi kehilangan mata pencaharian karena sebelumnya bergantung pada aktivitas pedulangan emas.

Setelah mengungsi ke kota, mereka sulit memperoleh pekerjaan tetap.

“Sebagian hanya bekerja serabutan seperti kuli bangunan atau menjual hasil hutan dalam jumlah kecil,” ujarnya.

Baca juga: Lebih dari 3.000 Siswa di Mimika Nikmati MBG, Pemkab Siapkan Dapur Sehat dan Libatkan Sekolah

Pendapatan yang minim membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.

Beberapa rumah pengungsian dihuni hingga lima kepala keluarga, sehingga menimbulkan tekanan ekonomi dan konflik dalam rumah tangga.

Oktovianus menambahkan, anak-anak pengungsi juga terdampak karena tidak mampu membayar biaya sekolah.

Banyak yang terpaksa berhenti belajar dan membantu orang tua mencari nafkah.

“Selain masalah biaya, trauma akibat konflik membuat anak-anak sulit fokus belajar,” beber Oktovianus.

Baca juga: Baku Tembak dengan OPM di Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya, Dua Prajurit TNI Gugur

Di bidang kesehatan, ia menyoroti banyak pengungsi tidak memiliki jaminan BPJS.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved